Beliau sudah lupa dengan suaraku. Bahkan ketika ku sebut nama, beliau mengulang-ulang namaku sampai tiga kali baru kemudian berkata, “Oh gimana kabarnya mas Peta? Sudah sukses sekarang nih. Hahaha”
Ah suara tawa yang ngangenin. Kalau kamu masih ingat penyayi ‘tak gendong’, nah suara tawa beliau 11-12 dengan tawa (alm.) mbah Surip. Mungkin karena mereka satu angkatan: sama tuanya.
Terakhir kali aku bertemu beliau, 4 bulan yang lalu untuk: pamit. Hari berikutnya aku tidak bekerja di proyek gedung. Dan otomatis aku tidak bisa belajar dari rekan kerjaku itu–lebih tepatnya mentor kerja.
Pa’De, panggilanku kepada beliau, adalah seorang surveyor senior. Entah berapa proyek kontruksi yang beliau kawal. Entah berapa pengalaman bangun gedung yang beliau punya. Itu yang kemudian menjadi pertimbanganku untuk bertahan. Tapi aku kalah, kalah akan sikap tidak mau tahu pak Proyek Manager.
Alhamdulillah beliau masih sehat, mengingat umur beliau yang kepala lima–atau enam entahlah–dan beliau perokok aktif sangat aktif. Mungkin pekerjaan sebagai surveyor membuat beliau tetap sehat. Kamu tahu surveyor adalah pekerja lapangan. Banyak menguras tenaga, banyak memeras keringat. Kulit kami sepertinya sudah kebal dengan teriknya sengat matahari. Dan kami dituntut untuk senantiasa fokus, menjaga tingkat keakuratan kalau tidak mau revisi dan kerja dua kali.
Hampir 30 menit kami mengobrol. Dulu, saat aku masih di proyek, kami hampir ngobrol seharian. Temanya bisa apa saja, tentang kontruksi, pekerjaan, tembang kenangan, atau perihal masalah keluarga. Saya ingat, saya pernah bertanya kepada Pa’De. Pertanyaan yang aku dapat dari curhatan Pak Mandor: “Mas, kalau menurut sampeyan, saya harus bagaimana, anak-anak saya minta warisan padahal saya sendiri masih hidup!”
Waduh, saya mau jawab gimana. Waktu itu saya bilang, “Maaf pak, saya tidak mumpuni untuk menjawab pertanyaan bapak.” Jawaban itu mungkin tidak akan memuaskan pak Mandor, tapi melihatnya menghembus nafas lega, sepertinya ada beban yang berkurang.
Nah pertanyaan itu aku tanyakan lagi kepada Pak’De, “Gimana menurut sampeyan Pa’De?” Aku lihat Pa’De mengernyitkan dahi, sepertinya berpikir keras. “Semoga anak cucu kita tidak seperti itu ya mas. Pertanyaan itu pertanyaan yang tidak pantas!” Begitu jawab beliau, pendek. Aku hanya mengaminkan, dalam hati.
Obrolan terakhir, aku mengutarakan niat membuka usaha. “Bagus itu mas,” kata beliau yang terdengar antusias ditelingaku. “Coba lihat orang-orang sukses, mereka adalah pemberani karena mau mencoba, mereka berani karena siap menghadapi resiko. Pa’De pengen juga, tapi Pa’De kan sudah tua. Hahaha.”
Terima kasih Pa’De, nasihatnya. Pingin rasanya bekerja sama lagi dengan beliau. Meneguk sari pengalaman hidup dari orang yang aku hormati. Tidak banyak pemuda yang nantinya bisa berpengalaman sepertimu Pa’De, dan juga berumur sepertimu-mungkin termasuk diriku. []peta